BANJARMASIN – Pemerintah pusat secara resmi telah mengeluarkan putusan untuk melarang kegiatan mudik pada lebaran tahun ini dimulai dari tanggal 6-17 Mei 2021 (8/4). Putusan itu tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri 1442 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Pelarangan tersebut diketahui sudah terjadi selama dua tahun berturut-turut. Di sisi lain, pemerintah tetap mengizinkan tempat wisata dibuka, apa alasannya ?
Dikutip dari tirto.id, Menko PMK Muhadjir Effendy memberikan argumen mengapa dua kebijakan yang bertolak belakang ini dijalankan.
“Tujuan kita meniadakan mudik memang untuk menekan penyebaran dan penularan COVID-19, tapi bukan membuat kegiatan ekonomi khususnya di Sektor Parekraf juga terhenti,” kata Muhadjir.
Juru Bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, sebagaimana dilansir dari detik.com, menjelaskan terkait persoalan diperbolehkannya masyarakat pergi berlibur meski mudik dilarang. Adita mengatakan masyarakat yang dapat berlibur itu hanya yang berada di dalam kota.
“Pariwisata yang diperbolehkan itu adalah konteks yang di dalam kota, bukan lintas kota,” ujar Adita.
Adita mengungkapkan tetap ada batasan yang diberikan di tempat wisata, di antaranya dengan pengurangan kapasitas, yaitu maksimal 50 persen dan dalam satu wilayah kabupaten yang sama.
Karena timbulnya polemik diantara masyarakat, Presiden Joko Widodo pun angkat bicara mengenai keputusan ini. Dalam sebuah video yang di upload di Instagram @jokowi, Presiden menghimbau masyarakat untuk tidak mudik pada lebaran tahun ini agar tingkat penyebaran Covid-19 dapat ditekan secara maksimal. Ia juga menyampaikan data-data penyebaran Covid-19 yang meningkat signifikan pada mudik lebaran tahun lalu menjadi alasan mengapa mudik harus dilarang.
“Saya mengerti kita semua pasti rindu sanak-saudara di suasana lebaran seperti ini, tetapi mari kita utamakan keselamatan bersama dengan tidak mudik ke kampung halaman.” Ujarnya
Menanggapi hal tersebut, analis kebijakan publik Universitas Trisakti Jakarta, Trubus Rahadiansyah, menyatakan bahwa melarang mudik tapi memperbolehkan objek wisata dibuka merupakan sebuah kebijakan paradox dan kontraproduktif
“Mudik dilarang tapi tempat wisata yang malah potensi terjadi kerumunan justru dibuka,” ujarnya.
Menurutnya, tak hanya membuat bingung, kebijakan ini juga membuat “kepatuhan masyarakat menurun.” Mereka akan berpikir untuk apa pula berkorban untuk tidak mudik demi menekan laju pandemi tapi objek wisata di buka di mana–mana.
Menurut salah satu warga Martapura Lama, Norsyifa, kebijakan ini sangat menyulitkan mereka sebagai masyarakat umum. Ia menyatakan rasa kasihannya, terutama mereka yang belum pulang kampung sejak tahun kemarin. Menurutnya kebijakan ini seakan tidak sejalan dengan tetap dibukanya objek wisata. Norsyifa juga menuturkan bahwa menurutnya kebijakan ini tidak akan berjalan lancar karena pasti akan tetap ada masyarakat yang bersikeras untuk pulang kampung walaupun kebijakan tersebut sudah dibuat khusunya di daerah Banjarmasin sendiri yang bisa dibilang proses pelaksanaan kebijakan ini tidak begitu ketat yang berarti masih memungkinkan untuk mudik.
Akibat larangan tersebut, banyak mahasiswa yang terancam batal pulang ke kampung halaman mereka.
“Larangan ini sangat berat bagi saya pribadi karena menurut saya, lebaran harusnya dihabiskan bersama keluarga di kampung halaman.” ujar salah satu mahasiswa yang tidak ingin disebut namanya.
Untuk menyiasati larangan ini, Ia berencana untuk mudik sebelum tanggal 6 Mei agar dapat menghindari cegatan petugas yang berjaga nantinya.
Adanya kebijakan larangan mudik dan tempat wisata tetap dibuka bertujuan guna menekankan angka penularan Covid-19 yang umumnya mengalami peningkatan kala libur panjang terjadi. Meskipun begitu, pemerintah menghimbau agar larangan mudik lebaran tahun ini bisa disikapi dengan penuh tanggung jawab oleh seluruh elemen masyarakat. Dan untuk objek wisata yang tetap di buka pemerintah berharap para pelaku usaha bisa bekerjasama dengan pemerintah, aparat setempat, dan Satgas Covid-19 untuk memaksimalkan penerapan Protokol Kesehatan di destinasi wisata, tentunya dengan kapasitas yang dikurangi, juga adaptasi teknologi dan digital.
Jurnalis:
Nurjannah
Misbahul Khair
Redaktur:
Aminah Cutari Zahra