Banjarmasin – Maraknya perbincangan toxic circle di era milenial ini menjadi satu problematika yang juga dihadapi mahasiswa sebagai generasi milenial saat ini. Toxic circle merupakan istilah untuk teman yang berada dalam lingkungan sekitar seseorang sebagai pemberi efek negatif ke dalam diri seorang individu tersebut.
Toxic circle yang dibiarkan menjamur dalam suatu hubungan pertemanan akan berdampak buruk terhadap diri seseorang. Bahkan jika seseorang tidak lekas menyadarinya, toxic circle tersebut akan membuat diri seseorang semakin tergores dan kehilangan jati diri.
“Biasanya toxic circle itu bakal memaksa kita untuk berubah sesuai dengan kemauan mereka, rasanya gak nyaman banget. Kebiasaan kita yang bikin nyaman jadi tidak dapat dilaksanakan lagi karena diatur oleh orang lain,” ungkap seorang mahasiswa jurusan akuntansi, Muhammad Dimas Wira Putra kepada Jurnal Kampus, Kamis (6/11).
Menurutnya, teman toxic yang melingkari hubungan seseorang tidak akan berbicara secara to the point, tetapi berbicara di belakang dan memengaruhi orang-orang di circle tersebut untuk mendukungnya dan pada akhirnya, kita hanya bisa mengikuti apa kemauan orang tersebut atau keluar dari circle itu.
Di circle yang tidak sehat, pasti terdapat manipulator, posesif, kepoan dan yang pastinya baik di depan, buruk di belakang,” imbuhnya.
Suatu circle tercipta karena adanya kesamaan atau kecocokan beberapa individu yang akan mengarah pada hubungan yang lebih dekat dan mulai akrab. Namun, Dimas mengatakan bahwa setiap manusia memiliki topengnya masing-masing sehingga pada akhirnya pasti kelihatan juga yang tidak cocok maka tidak akan bisa akrab.
“Itulah manusia yang beragam, hanya karena gak cocok bukan berarti gak bisa temenan. Tapi kalau namanya toxic sih wajib buat dihindari,” tegasnya.
Di sisi lain, Noor Khairi Priantama, seorang mahasiswa yang juga dari jurusan akuntansi membagikan pengalamannya terkait toxic circle sebagai mahasiswa baru di kala itu. Ia menceritakan bahwa ia pernah terjebak dalam suatu toxic circle yang di dalamnya terdapat permasalahan cukup berat sehingga menjadi pemicu orang-orang di circle itu menampakkan sifat-sifat aslinya.
“Karena menurut saya, sifat dasar manusia itu akan terlihat ketika dihadapkan oleh dua hal, yaitu waktu dan juga masalah,” tuturnya.
Toxic circle yang pernah ia alami dalam bangku perkuliahan adalah ketika circle tersebut memanfaatkan Rian untuk menyelesaikan masalah yang seharusnya dihadapi bersama, tetapi kenyataannya, circle yang ia miliki justru menitikberatkan semua masalah kepadanya – waktu itu ia dihadapkan dengan tugas kuliah yang cukup berat sebagai seorang mahasiswa baru.
Ia bersinyalir bahwa penyebab timbulnya toxic circle yang ia punya karena rasa egois yang dimiliki masing-masing orang dalam circle tersebut sehingga memanfaatkan orang lain untuk menanggung semua tanggung jawab yang ada.
“Bisa dianalogikan bahwa saya itu ‘anak bawang’ sehingga mereka memanfaatkan status saya sebagai pendatang baru agar bisa menanggung semua tanggung jawab yang seharusnya dihadapi bersama,” jelasnya.
Ketika ia telah menyadari bahwa dirinya berada dalam toxic circle, ia langsung melepaskan diri dan membuktikan bahwa merekalah yang memerlukannya, bukan ia yang memerlukan mereka sehingga ia berpendapat bahwa sedikit banyaknya mereka akan sadar bahwa hal yang mereka lakukan itu adalah sesuatu yang toxic.
Sedikit berbeda dengan penyebab toxic circle yang dialami Rian, Dimas mengungkapkan penyebab utama suatu circle bisa menjadi toxic dapat berawal dari manipulator yang pembawaannya selalu membicarakan hal yang buruk, baik itu keburukan orang lain atau orang yang ada di circle itu sendiri
“Adanya manipulator tadi, mulutnya macam comberan alias bau dan gak berhenti menggenang. Otomatis topik di circle itu bawaannya ngomongin hal yang buruk terus,” ujarnya.
Selain itu, ia menambahkan bahwa toxic circle juga bisa diakibatkan dari diri seorang individu yang tidak bisa menilai orang dengan baik dan akurat sehingga sebenarnya orang itu memang toxic, tetapi individu tersebut yang terlambat menyadarinya.
Untuk solusi mengatasi situasi dalam toxic circle ini pun, ia mengakui bahwa sekarang tidak mau terlalu dekat sampai harus masuk ke sebuah circle, kecuali orang tersebut benar-benar sudah dikenal, jelas dan pasti memiliki kecocokan yang sama, seperti gaming dan gym. Itupun, lanjutnya, dengan jumlah yang sedikit karena kualitas jauh lebih penting dari kuantitas.
“Akan jauh lebih baik ketika kita mengalami kesulitan ada satu sampai dua orang yang memberikan tangan, daripada seratus orang tapi hanya bisa menunjuk dan mengata-ngatai,” ucapnya.
Seorang mahasiswa angkatan 2019 ini pun memberikan saran bagi seseorang yang saat ini berada dalam suatu toxic circle. Sarannya yang pertama, stand up for yourself. Maksudnya adalah seseorang harus tegas atas apa yang disukai dan tidak disukai. Jika merasa dilecehkan, maka harus melawan balik karena menurutnya, tidak ada orang yang lebih berhak membela diri daripada diri seseorang itu sendiri.
Kedua, keluar secepat mungkin. Ia menekankan bahwa mereka itu bukan siapa-siapa dan hanya sebatas teman karena manusia banyak, orang baik juga banyak sehingga tidak perlu takut meninggalkan atau mencari teman baru yang lebih baik.
Ketiga, jaga diri dan mandiri. Jangan terlalu bergantung dengan orang lain sampai-sampai bisa dimanipulasi ataupun mendengarkan kemauannya tanpa pikir panjang. Terakhir, selalu berpikir logis dan sehat. Ia menyatakan bahwa lingkungan akan mendefinisikan siapa kita sehingga jangan sampai kita didefinisikan menjadi hal yang buruk dan membuat penyesalan di kemudian hari.
“Kita gak bisa mengubah orang di sekitar kita, tapi kita bisa mengubah siapa saja orang yang ada di sekitar kita,” tekannya.
Toxic circle harus disadari secepat mungkin agar kita sebagai mahasiswa tidak terhanyutkan oleh circle yang dianggap baik, padahal kenyataannya bertolak belakang. Carilah teman berdasarkan kualitas dan jangan menjadikan kuantitas sebagai acuannya. Sebab kita harus terus menggali potensi diri dengan dorongan positif dari teman-teman yang berkualitas, bukan teman berdasarkan kuantitas yang dapat mengikis potensi kita secara perlahan.
Jurnalis:
Aprilliani
M. Alfian
Redaktur:
Aminah Cutari Zahra