Banjarmasin – Buku merupakan jendela dunia. Melalui buku, berbagai informasi bisa kita dapatkan guna memperkaya wawasan. Uniknya, alih-alih gemar membaca, masyarakat Indonesia justru lebih suka menonton film/televisi. Lantas, bagaimana hal tersebut bisa terjadi dan apa dampak serta pengaruhnya terhadap kualitas sumber daya manusia di Indonesia ?
Berdasarkan hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) dari Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD), Indonesia berada di ranking 62 dari 72 negara dalam hal minat baca. Di sisi lain, 91,58% masyarakat Indonesia berumur 10 tahun keatas diklaim lebih suka menonton televisi/film. Hal ini selaras dengan data dari UNESCO yang membeberkan bahwa rasio gemar membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang gemar membaca.
Sebagaimana dikutip dalam berita harian Kompas, Kepala Kantor Perpustakaan Nasional, Sri Sularsih menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Menurutnya, rata-rata penduduk di negara maju membaca 20-30 judul buku setiap tahun, berbanding terbalik dengan rata-rata penduduk di Indonesia yang hanya membaca paling banyak tiga judul buku. Data-data tersebut membuktikan tingkat literasi masyarakat yang kian memprihatikan.
Rendahnya minat baca ini sangat mempengaruhi indeks pembangunan manusia (IPM) yang menunjukkan kualitas SDM di suatu negara. Minat baca merupakan salah satu indikator utama dalam penilaian IPM, terutama dalam bidang kualitas pendidikan. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, ikut angkat suara untuk menanggapi data tersebut.
“Angka ini menjadi penting di dunia, karena parameter pendidikan di dunia salah satunya literasi membaca. Di Indonesia ini angka literasi membaca memang tidak terlalu tinggi, tapi angka menonton kita justru sangat tinggi. Jadi orang Indonesia lebih suka menonton ketimbang membaca,”.
Menurut Yusuf, ada tiga faktor yang membuat tingkat membaca di Indonesia rendah. Di antaranya, harga buku yang mahal, akses informasi yang sulit, hingga buku yang tidak berinovasi. Berbeda dengan film yang mudah untuk diakses serta sarat akan inovasi melalui efek-efek visual modern.
Salah satu mahasiswa FEB ULM yang lebih gemar membaca buku daripada menonton film, Alfian, menyatakan bahwa buku membantunya untuk berimajinasi seluas mungkin, berbeda dengan film yang hanya terbatas pada penyajian visualnya. Ia mengaku membaca buku membuatnya memiliki daya ingat yang lebih kuat. Menurutnya, kegiatan membaca menjauhkan dirinya dari adiksi/ketagihan terhadap gadget, hal yang cenderung diderita semua orang di zaman modern seperti sekarang. Saat ini ia sedang suka-sukanya membaca buku bertemakan sejarah, terutama sejarah islam.
Berbeda dengan Alfian, Wanda Safitri yang juga merupakan salah satu mahasiswa FEB ULM, mengatakan bahwa saat ini ia lebih gemar menonton film dibandingkan membaca buku. Hal ini dikarenakan ia lebih suka melihat media melalui visual dan audio daripada membaca. Film yang ia sukai adalah film bertemakan motivasi seperti Persuit of Happiness, Hidden Figures, Forest Gump dan The Second Act. Selain itu, ia juga tertarik dengan series kedokteran seperti The Grey’s Anatomy. Dengan menonton film tersebut, ia merasa termotivasi dan mendapat pengetahuan serta wawasan dari berbagai bidang, terutama dari bidang kedokteran.
Sebenarnya, menonton film ataupun membaca buku sama – sama menambah wawasan masyarakat. Keduanya tidak dapat dibandingkan, dikarenakan hal tersebut merupakan preferensi, selera, serta kenyamanan setiap orang yang memiliki kegemarannya masing – masing. Membaca buku dan menonton film hanya berperan sebagai media penambah wawasan, tinggal masyarakatlah yang harus bijak menyikapi kedua hal tersebut. Dan tentunya, masyarakat juga harus berimbang pada keduanya, tidak hanya menonton film tetapi juga harus membaca buku agar pengetahuan yang didapat menjadi lebih banyak.
Jurnalis:
Misbahul Khair
Nurjannah
Redaktur:
Aminah Cutari Zahra