Banjarmasin – Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) oleh DPR pada Senin (5/10/2020) lalu, mengundang beragam protes dan ketidakpuasan oleh berbagai kalangan masyarakat, terutama kaum buruh dan pekerja. Mereka menyatakan bahwa hak-hak yang didapatkan akan semakin ditekan jika UU ini disahkan dan dijalankan nantinya.
Bahkan, sejak tanggal 8 Oktober 2020 lalu hingga saat ini pun, para mahasiswa dan buruh masih berjuang menyuarakan protesnya dengan melakukan aksi turun kejalan menolak pengesahan UU Ciptaker ini. Gerakan ini didorong oleh beberapa hal, diantaranya ialah karena UU ini dianggap merugikan masyarakat khususnya buruh, mulai dari isu upah minimum yang dihilangkan, upah dihitung perjam, dan lain sebagainya.
Namun, benarkah isu-isu mengenai Omnibus Law UU Ciptaker yang marak beredar di media sosial ini?
Pada konferensi pers yang dilakukan Presiden Joko Widodo, Jum’at (9/10/2020) lalu, beliau memberikan keterangan mengenai poin-poin tidak benar atau hoax Omnibus Law yang tersebar di media sosial.
“Saya melihat adanya unjuk rasa, penolakan Undang-Undang Cipta Kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari Undang-Undang ini dan hoax di media sosial,” ucap Jokowi pada konferensi pers.
Terkait sejumlah pasal kontroversial yang ada di UU Cipta Kerja, Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) turut angkat bicara mengenai hal tersebut. Berikut ini 7 poin dalam UU Ciptaker yang diungkap oleh KOMINFO:
Soal Tenaga Kerja Asing
Hoax: mempermudah Tenaga Kerja Asing (TKA).
Fakta: Pasal 42 menjelaskan bahwa bahwa peraturan soal TKA tetap sama ketatnya dan harus disertai dengan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), hanya untuk jabatan dan dalam waktu tertentu serta tidak boleh menduduki jabatan personalia.
Soal Pesangon
Hoax: nilai pesangon penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak dikurangi.
Fakta: Pasal 46A dan Pasal 46D menjelaskan bahwa pesangon justru ditambah dari pihak pemerintah Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) berupa uang tunai, peningkatan keterampilan dan penyaluran pada pekerjaan baru. Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziah, menyebut pesangon kepada pekerja tetap diberikan namun dengan skema pesangon perusahaan sebesar 19 kali dan 6 kali dari jaminan kehilangan pekerjaan. Menurut Kemenkominfo, soal pesangon ini bukan nilainya yang berkurang, melainkan manfaat yang diterima pekerja akan lebih banyak, seperti adanya penghargaan, penggantian hak dan JKP.
Soal Status Pekerja Kontrak
Hoax: status pekerja kontrak seumur hidup, tidak ada batas waktu kontrak.
Fakta: Pasal 59 ayat (3) justru bisa memaksa pemberi kerja mengangkat karyawan kontrak menjadi karyawan tetap. Sedangkan Pasal 61A menyatakan ada uang kompensasi saat kontrak berakhir (sebelumnya tidak ada/tidak diatur). Perjanjian kerja waktu tertentu, hanya untuk pekerjaan yang memenuhi syarat.
Soal Outsourcing
Hoax: outsourcing bisa diterapkan untuk semua pekerjaan.
Fakta: Pasal 66 ayat (6), perusahaan alih daya (outsourcing) tetap mengikuti Permenaker 19/2012 yang dibatasi untuk 5 jenis pekerjaan.
Soal Jam Kerja
Hoax: waktu kerja terlalu eksploitatif.
Fakta: Pasal 77, waktu kerja tetap sama. Sedangkan Pasal 78 menyatakan pekerja bisa mendapatkan tambahan penghasilan dengan jam lembur sampai 18 jam dalam 1 minggu.
Soal Hak Cuti
Hoax: Hak cuti hilang.
Fakta: Pasal 79 menyatakan bahwa waktu istirahat dan cuti masih diatur dan tetap mendapat upah penuh. Cuti haid, cuti melahirkan juga tetap menerima upah penuh (tidak diutak-atik).
Soal Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK)
Hoax: UMK dihapus.
Fakta: Pasal 88C justru menyatakan bahwa Gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan dapat menetapkan UMK.
Disamping maraknya hoax yang beredar, proses pembuatan Omnibus Law ini memang dinilai tidak wajar karena kurangnya transparansi dan pelibatan terhadap pihak pekerja dan buruh. Selain itu, naskah UU Sapu Jagat ini sendiri berkali-kali mengalami revisi dan perilaku Pemerintah terhadap hal tersebut terkesan tertutup dan malah membuat bingung masyarakat.
Bukan hanya itu, masih banyak persoalan yang dinilai ganjil oleh para ahli. Diantaranya, yaitu pembuatan naskah akademik yang baru dibuat sewaktu RUU mulai dibahas, lalu sejumlah politikus yang belum menerima salinan UU Ciptaker saat diresmikan, hingga masih adanya penyuntingan naskah setelah UU disahkan yang menimbulkan kekhawatiran akan adanya pasal selundupan.
Melalui kanal Youtube ‘Kok Bisa?’ tentang Omnibus Law Ciptaker, diungkapkan bahwa Bank Dunia bahkan pernah meminta Pemerintah Indonesia untuk merevisi UU ini karena dinilai akan berdampak buruk pada lingkungan. Terlebih, bila tindakan ini mengundang investor datang, tidak serta merta membuat masalah pengangguran selesai. Hal ini terjadi karena musuh terbesar ekonomi Indonesia bukan terletak pada minimnya investasi, namun pada maraknya korupsi.
Keberadaan Omnibus Law Cipta Kerja ini bisa dinilai baik dan juga buruk. Pemerintah harus segera menyelesaikan kontroversi yang terjadi dengan adanya komunikasi dua arah agar segala disinformasi atau kesalahpahaman tidak lagi timbul. Masyarakat hanya menginginkan hak-hak yang patut diperoleh dan kejelasan atas informasi yang didapat.
Disadur dari:
news.detik.com (penulis rdp/fjp, diterbitkan 8/10/2020)
nusadaily.com (penulis Haikal, diterbitkan 10/10/2020)
Penulis :
Mayra Shafira
Helma Azizah
Rasyid Al Izhar
Redaktur : Agus Hermawan