Cerita Pendek – Inginku tatap mata itu tanpa adanya rasa kebencian, inginku melangkah tanpa merasa ketakutan, inginku tersenyum tanpa air mata yang tersimpan. Tetapi inginku tak seindah kenyataan, berulang kali, lagi dan lagi terus terpatahkan dengan keadaan, apa salahku? Apakah aku melakukan sebuah kesalahan di masa lalu hingga membuatku terus tersakiti? Atau keinginan untuk bahagia terlalu sulit untuk didapati hingga harus membuatku terjatuh berkali-kali? Entah, aku hanya ingin bahagia, cukup itu saja.
Tasya, perempuan 25 tahun yang terlahir dari keluarga yang berantakan, ayahnya menganiaya ibunya ketika dia masih berusia 10 tahun, pada usia itu dia sudah cukup mengerti bagaimana konflik keluarganya, ayahnya yang keras dalam bertindak dan ibunya yang keras kepala, dalam perwatakan seperti itu, sudah dapat kita bayangkan bagaimana konflik berlangsung dalam pemertahanan ego masing-masing. Saat itu, terkadang dia menyalahkan ibunya yang terus menuntut ayahnya untuk memenuhi kebutuhan tanpa memandang usaha yang telah dikerahkan, tetapi terkadang, dia juga menyalahkan ayahnya yang tidak pernah cukup memberikan kebutuhan untuknya dan ibunya. Masa kecil dan memori tentang keluarga sangat buruk di dalam ingatannya, dan tanpa dia sadari, trauma itu sudah tertanam dalam hidupnya.
“Maaf, bisakah berikan saya kesempatan?”
“Seseorang yang tidak berpendidikan seperti kamu, pantas saja tidak pernah dihargai! Lebih baik kamu pergi dari sini!” usir manajer cafe kepada Tasya ketika Tasya mencoba untuk membela diri bahwa dia tidak salah mengenai tuduhan yang diajukan kepadanya.
Mendengar makian yang dilontarkan kepadanya dihadapan banyak orang hanya membuatnya tertunduk lemah, lagi dan lagi dia kembali dipermalukan. Dulu pikirnya setelah selesai menuntut ilmu di jenjang SMA, dia tidak akan menemui hal seperti ini lagi, ternyata setelah bertahun-tahun berlalu, dia kembali dipermalukan oleh teman SMA nya dulu, dengan makian yang sama di tempat yang berbeda.
“Maaf, saya memang bukan orang berpendidikan, tetapi saya mengerti bagaimana cara memperlakukan seorang manusia, setidaknya saya tidak pernah menyakiti orang lain, permisi.” ucap Tasya berlalu pergi meninggalkan cafe itu.
Tasya hanya bisa menutupi isaknya, tetapi air matanya sudah tidak terbendung lagi, pekerjaan yang baru dia dapatkan seminggu yang lalu sebagai pelayan cafe harus termusnahkan lagi. Sepertinya semesta tidak pernah berhenti untuk mencampur tangani urusannya, membuatnya patah berulang kali, bahkan dia sendiri juga tidak tahu, bagaimana dia bisa sekuat ini hingga sekarang, berjalan maju dengan rasa sakit dan tetap tersenyum walau terlalu banyak alasan mengapa dia tidak bisa bahagia.
“Apa salahku? Apa aku pernah menyakiti orang lain? Hinaan yang dilontarkan kepadaku selama ini adalah penyebab dari orang tuaku, apa aku pernah meminta untuk dilahirkan? Kenapa aku harus dilahirkan jika hanya membuat aku merasa terbunuh setiap hari?” lirih Tasya dengan kegundahan yang memenuhi dirinya.
Tanpa sadar dia menaikkan kakinya pada jembatan di trotoar, jembatan yang di bawahnya adalah sungai besar dengan air yang deras. Sungguh hal ini sudah ketiga kalinya dia melakukan percobaan bunuh diri yang selalu gagal, dan kali ini sepertinya dia akan berhasil, berhasil meninggalkan dunia yang terus menyiksanya, meninggalkan ibunya yang sakit-sakitan, ayahnya yang tidak tahu di mana setelah keluar dari tahanan, dan semua hinaan oleh semua orang kepadanya selama ini, sungguh dia ingin meninggalkan semua ini.
“Stop, jangan lakukan itu!” teriak seseorang yang menariknya hingga keduanya jatuh di trotoar. Ya! Tasya kembali gagal untuk menghabisi dirinya sendiri.
“Kenapa kamu menolongku? Mengapa tidak kau biarkan aku mati saja! Tidak ada gunanya aku hidup!” teriak Tasya kepada perempuan cantik berkerudung warna putih.
“Istighfar mbak, mbak tidak boleh menyakiti diri mbak seperti itu,”
“Lalu? Orang lain boleh menyakiti diri saya?”
“Saya tidak tahu masalah apa yang sedang mbak hadapi, tapi bagaimana jika mbak ikut saya dulu, ya?” ucap perempuan itu memohon, lalu menarik tangan Tasya untuk masuk ke dalam mobilnya.
Tasya menangis lirih, dia memejamkan matanya sejenak, sebelum akhirnya dia bisa kembali mengontrol emosinya yang tadi sempat menggebu-gebu.
“Sebenarnya saya tidak ingin melakukan ini, tetapi mengapa tuhan selalu menguji saya dengan cobaan yang berat? Apakah di dunia ini hanya saya satu-satunya hamba yang tidak pernah memiliki jeda dalam cobaan?”
“Lihat bapak itu,” perempuan berkerudung itu menunjuk ke arah bapak-bapak yang sedang menjual mainan ditepi jalan, bapak yang memakai pakaian lusuh dengan tongkat di tangannya. Sejenak mereka berhenti dan perempuan itu memberi sedikit uang kepada bapak tua itu, ternyata, dia buta.
“Lihatkan? Apa cuma kamu yang diberi cobaan? Bahkan dari segi fisik kamu lebih beruntung dari bapak tua itu.” kalimatnya sontak mencekam batin Tasya.
“Aku Alana, kamu?”
“Tasya.”
“Boleh cerita ke aku, jika kamu berkenan, mungkin bisa aku bantu.”
“Dari dulu saya tidak pernah memiliki teman yang mau menerima saya, apalagi mendengar saya bercerita, dari SMP sampai SMA, saya dibully sebagai anak seorang napi, ayah saya menganiaya ibu saya dan masuk penjara, keluarga saya berantakan, di sekolah saya dibully, saya tidak memiliki banyak uang, sedangkan ibu saya sakit-sakitan dan barusan saya kembali dibully hingga kehilangan pekerjaan saya.”
“Kamu yakin semua orang tidak ingin dekat denganmu dan membully mu?” Tasya terdiam sejenak, dia memikirkan kembali pertanyaan Alana dan mengingat kembali memori-memori menyeramkan itu.
“Tidak juga, tetapi mereka juga tidak membelaku.”
“Alana, aku yakin tidak semua orang berfikiran sempit, tentang ayahmu, mungkin itu memang kesalahan beliau, tetapi tidak ada kaitannya denganmu Sya. Kelahiran bukan keinginan kita dan kematian bukan pilihan kita, kita tidak pernah bisa menentukan kita harus terlahir di rahim siapa dan dengan keluarga seperti apa. Masalah orang tua itu adalah masalah mereka, kita juga tidak tahu bagaimana sulitnya menjadi orang tua, jadi kita tidak boleh membenci mereka. Yang harus kita lakukan adalah, bagaimana kita menjadi orang tua nantinya, bukankah itu yang penting?”
“Tetapi aku tetap membenci ibuku, aku tidak pernah bisa sepenuh hati menyayanginya, apalagi ayahku yang tidak tahu di mana.”
“Itu karena dendam yang kamu simpan di dalam hati dalam waktu yang lama Sya. Sebuah pemikiran yang kamu buat sendiri, bahwa semua orang membencimu, membully mu, meremehkan mu, padahal aku yakin, semua orang juga memiliki masalah dan hidup mereka masing-masing, mereka tidak punya waktu untuk mengurusi hidupmu. Jadi, kunci bahagia adalah pada hatimu, jika hatimu ikhlas menerima kenyataan dan mengikhlaskan semuanya, maka kamu akan tetap bahagia apapun kondisinya.”
“Kamu tidak menganggapku perempuan yang menjijikan?”
“Astagfirullah, tentu saja tidak. Kamu bahkan sangat cantik, kenapa aku harus melihat kamu menjijikan?”
“Karena seperti itulah orang lain memandangku.”
“Hey, bukankah baru aku bilang, kalau itu hanya opini yang dibuat oleh pemikiranmu sendiri saja, kamu muslim?”
“Ya aku muslim, tapi aku tidak pernah shalat,”
“Jika kamu ingin, aku bisa bantu kamu..”
“Aku ingin bertaubat.” kata Tasya memotong pembicaraan Alana yang tadinya ingin membantunya untuk kembali memulihkan diri. Sontak perkataan Tasya membuat Alana hampir menangis, secepat itu Allah bukakan hidayah untuk perempuan ini. “Bisakah kamu membantuku?”
“Yaa tentu saja, tentu!” ucap Alana memeluk Tasya.
“Terima kasih, aku ingin menjadi sepertimu, perempuan yang cerdas dan selalu berbaik sangka terhadap kondisi yang sulit, dan aku yakin, agamamu yang menjadikanmu seperti ini.”
“Kamu juga pasti akan menjadi lebih baik, karena agama kita.”
Setelah percakapan dengan Alana malam itu, Tasya menemukan kembali semangat hidupnya, perempuan yang menyentuh hatinya hingga dia ingin menjadi seperti Alana, mungkin benar kata Alana, selama ini dia menutup pintu hatinya, menutup mata dan telinga, membuat sendiri pemikiran orang lain terhadapnya hanya karena satu dua orang yang selalu mengganggunya, hingga dia tidak pernah melihat orang yang baik, peduli, dan kebahagiaan lagi. Bukan orang yang bermasalah, tetapi hatinya, hatinya yang sudah terlalu lama tidak dia bersihkan. Dan saat ini, dia kembali berbenah, melanjutkan hidupnya. Dengan kerudung dan baju tertutup yang dia pakai, akhirnya dia menemukan pekerjaan di cafe punya Alana yang sekarang menjadi sahabat baiknya. Indahnya rencana hidup yang diberikan oleh Allah untuknya, karena Allah tidak pernah salah memilih pundak siapa yang dia berikan cobaan, karena cobaan itu menurut kapasitas kekuatan hambanya.
“Perkenankan aku kembali, ke fitrah yang seharusnya telah aku ketahui.”
TAMAT
Karya : Dinda Ayu Nurkamila (Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ULM Banjarmasin)