Banjarmasin – Baru-baru ini, dunia dihebohkan oleh pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Jean-Michel Frédéric Macron yang menyebut Islam merupakan agama yang sedang mengalami krisis. Selain itu, adanya Majalah Charlie Hebdo yang mempublikasikan kembali karikatur Nabi Muhammad sebagai bagian dari materi pelajaran kebebasan berpendapat dan berekspresi didukung oleh Macron.
Hal ini telah melukai hati umat Islam dan mendapat kecaman dari berbagai negara yang mayoritasnya muslim seperti Arab Saudi, Qatar dan Kuwait yang melakukan pemboikotan berjamaah terhadap produk-produk dari Prancis.
Di Kuwait, beberapa supermarket mulai mengeluarkan semua produk Prancis dari rak sebagai bentuk protes. Di Qatar, Al Wajba Dairy Company dan Almeera Consumer Goods Company mengatakan bahwa mereka akan memboikot produk Prancis dan memberikan alternatif lain.
Kampanye lain juga dilaporkan di Yordania, Palestina hingga Israel. Universitas Qatar juga bergabung dalam kampanye boikot tersebut dan mengumumkan bahwa mereka memutuskan untuk menunda Pekan Budaya Prancis sebagai protes atas penghinaan anti-Islam.

Dalam aksi boikot produk Prancis di Indonesia, tidak ada dukungan serupa dari institusi besar seperti negara dan swasta. Aksi ini hanya dijalankan oleh sebagian lapisan masyarakat saja sehingga diyakini tidak akan membawa pengaruh yang signifikan.
“Betul bahwa Indonesia menyampaikan kekecewaannya terhadap pernyataan Presiden Prancis, namun Indonesia tidak pernah menyampaikan untuk melakukan pemboikotan terhadap produk asal Prancis (secara resmi). Sementara seruan boikot, juga hanya terjadi di sebagian elemen masyarakat, artinya tidak secara luas dilakukan oleh masyarakat Indonesia sehingga dampaknya ke perusahaan afiliasi Prancis di Indonesia juga tidak akan begitu signifikan,” papar Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet.
Menurut Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, dampak yang mungkin akan dirasakan perusahaan Prancis dalam jangka waktu dekat ini adalah omset yang otomatis semakin tertekan.
“Dampak boikot produk Prancis akan membuat omset perusahaan Prancis semakin tertekan. Misalnya, di sektor makanan minuman dan kosmetik sejak awal pandemi sudah terjadi banyak tekanan karena turunnya penjualan. Bahkan berbagai perusahaan di Prancis melakukan PHK massal. Ditambah boikot yang terjadi di berbagai negara muslim tentu akan jadi double tekanannya,” tutur Bhima.

Imbas dari pemboikotan tersebut, saham Prancis terbukti anjlok dalam kurun waktu 4 hari terakhir sesuai Indeks CAC 40 di Bursa Efek Paris yang menyusut 0,03 persen atau 1,45 poin menjadi 4.569,67 poin pada perdagangan Jumat, 30 Oktober 2020.
Sebagai negara yang terbuka dengan total pangsa ekspor terhadap PDB mencapai lebih dari 30%, ekspor Prancis ke negara-negara muslim seperti Timur Tengah pasti akan mengalami penurunan.
Dampak yang mengenai negeri ‘Kota Mode’ ini juga berpengaruh pada negara-negara lain yang bekerja sama dan melakukan hubungan investasi dengan Prancis. Untuk dapat meredam kemarahan massa, Macron harus bisa mendinginkan situasi yang tengah terjadi dan saling bertoleransi antar umat beragama.
Disadur dari:
law-justice.co (penulis Annisa, diterbitkan 2/11/2020)
finance.detik.com (penulis Soraya Novika, diterbitkan 8/11/2020)
Penulis :
Rasyid Al Izhar
Mayra Shafira
Helma Azizah