Polemik kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada tahun 2024 telah memicu gelombang protes dari mahasiswa, calon mahasiswa, dan masyarakat luas, yang berujung pada demonstrasi di berbagai kampus negeri di Indonesia. Menurut Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Soedirman (Unsoed), pada tahun 2023, UKT Program Studi Peternakan untuk Golongan V hanya sebesar Rp2.500.000 per semester. Namun, pada tahun 2024, terjadi lonjakan drastis menjadi Rp12.500.000 per semester. Kenaikan serupa juga terjadi di Universitas Sumatera Utara (USU), dengan rata-rata UKT meningkat sebesar 30-50%. Isu ini mencapai puncaknya hingga akhirnya mereda pada 27 Mei 2024, setelah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengeluarkan surat yang memerintahkan pembatalan dan pencabutan rekomendasi kenaikan UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) di 75 perguruan tinggi. Meski begitu, Presiden Joko Widodo dalam siaran YouTube Sekretariat Presiden pada 31 Mei 2024 menyatakan bahwa kebijakan kenaikan UKT ini kemungkinan besar akan kembali diusulkan oleh Mendikbud untuk diterapkan pada tahun depan.
Sebelum polemik kenaikan UKT 2024, Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi sorotan karena kebijakan kontroversialnya yang memicu gelombang protes dari mahasiswa. ITB mengusulkan skema pembayaran UKT melalui pinjaman online (pinjol) sebagai solusi atas mahalnya biaya kuliah dan untuk mengurangi jumlah tunggakan. Kebijakan ini merupakan hasil kerja sama antara ITB dan PT Inclusive Finance Group (Danacita). Dalam salah satu cuitan di platform X, disebutkan bahwa mahasiswa dapat meminjam uang dengan jangka waktu pelunasan 6 atau 12 bulan, dengan biaya platform sebesar 1,75% per bulan serta biaya persetujuan 3% dari total pinjaman. Kebijakan ini menuai kritik keras karena dianggap menambah beban mahasiswa yang sudah kesulitan secara finansial.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia semakin bergerak ke arah kapitalisme, terutama sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Undang-undang ini memungkinkan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) untuk mengumpulkan sumber dana tambahan di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta biaya pendidikan seperti UKT dan IPI. Menurut Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), selama UU Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 tidak dicabut, semua PTN di Indonesia akan beralih status menjadi PTN BH. Ini mengakibatkan pergeseran tanggung jawab pembiayaan pendidikan dari negara ke masyarakat, menyebabkan kenaikan UKT yang signifikan sebagai wujud nyata privatisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi.
Saat ini, 55 perguruan tinggi di Indonesia berlomba-lomba meraih status PTN BH dengan meningkatkan Indikator Kinerja Utama (IKU). Status ini memberikan otonomi penuh dalam mengelola keuangan, sumber daya, dan aset, serta memungkinkan kerja sama luas dan usaha mandiri. Ironisnya, meski PTN BH berhasil mencapai standar emas dalam kualitas pembelajaran, dosen, dan tata kelola, kebijakan ini justru memperparah ketimpangan akses pendidikan. Otonomi penuh memungkinkan PTN BH meningkatkan biaya pendidikan untuk memenuhi target pendanaan mandiri, yang akhirnya membebani mahasiswa dengan biaya UKT yang melambung tinggi. Kebijakan ini berpotensi menyingkirkan calon mahasiswa dari kelompok ekonomi menengah ke bawah, yang semakin sulit mengakses pendidikan tinggi. Kapitalisme pendidikan semakin nyata ketika pendidikan, yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara, berubah menjadi komoditas yang hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu membayar.
Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) adalah kategori perguruan tinggi nirlaba yang memiliki otonomi lebih besar dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Negeri Satuan Kerja (Satker) dan Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (BLU). Otonomi ini memberikan PTN BH fleksibilitas dalam aspek akademik dan non-akademik, termasuk pengelolaan keuangan. Dengan misi melayani masyarakat dan menyediakan pendidikan tinggi berkualitas, PTN BH dapat membuka program studi secara mandiri tanpa prosedur pengusulan yang panjang ke Direktorat Kelembagaan, Ditjen DIKTI Ristek. Namun, otonomi besar ini juga menuntut tanggung jawab besar untuk memastikan akses pendidikan tetap inklusif dan tidak terjebak dalam komersialisasi.
IKU yang dikejar oleh PTN BH sering kali lebih menekankan pada kinerja finansial dan daya saing institusi daripada aksesibilitas pendidikan. IKU yang ditetapkan oleh pemerintah mendorong PTN BH untuk fokus pada indikator prestasi akademik dan non-akademik, seperti jumlah penelitian di jurnal internasional, peningkatan jumlah mahasiswa asing, dan keberhasilan dalam kerja sama dengan industri. Demi mencapai target ini, PTN BH cenderung mengalokasikan anggaran besar untuk riset, kerjasama internasional, serta pengembangan inovasi yang bernilai komersial, sering kali mengesampingkan aspek inklusivitas pendidikan. Prioritas ini menyebabkan PTN BH lebih berfokus pada penguatan reputasi dan daya saing di tingkat global daripada memastikan aksesibilitas pendidikan bagi semua lapisan masyarakat. Hal ini tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang lebih berorientasi pada profit, seperti menaikkan UKT dan memperketat seleksi mahasiswa berdasarkan potensi kontribusi finansial, bukan semata-mata kemampuan akademik.
Untuk memenuhi target IKU tersebut, PTN BH juga melakukan berbagai inisiatif yang sering kali tidak memperhitungkan dampak sosialnya. Misalnya, PTN BH semakin agresif dalam menjalin kemitraan dengan industri, yang pada gilirannya meningkatkan ketergantungan institusi terhadap dana eksternal. Fokus pada riset yang berpotensi menghasilkan keuntungan jangka pendek membuat PTN BH lebih tertarik mengembangkan program studi yang “laku di pasar,” daripada program studi yang berfokus pada pengembangan masyarakat dan pembangunan manusia secara berkelanjutan. Akibatnya, peningkatan UKT yang signifikan, seperti yang terjadi di USU, menjadi beban berat bagi mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah. Kenaikan ini tidak hanya memperburuk aksesibilitas pendidikan, tetapi juga memperkuat ketimpangan sosial, menjauhkan pendidikan tinggi dari jangkauan mereka yang membutuhkan.
Kapitalisme pendidikan yang diterapkan di PTN BH berpotensi menghambat tercapainya bonus demografi yang seharusnya menjadi keuntungan kompetitif Indonesia menuju Indonesia Emas 2045. Bonus demografi, yang ditandai dengan jumlah penduduk usia produktif yang lebih besar, seharusnya menjadi peluang untuk pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Namun, tingginya biaya pendidikan, terutama UKT, menghalangi banyak calon mahasiswa, terutama dari keluarga berpenghasilan rendah, untuk melanjutkan studi. Berdasarkan dataBadan Pusat Statistik (BPS), Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi pada 2024 adalah 39,37%, yang masih di bawah rata-rata global dan lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Hal ini menunjukkan bahwa mahalnya biaya pendidikan berkontribusi pada penurunan aksesibilitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Kapitalisme pendidikan juga dapat mengurangi diversifikasi keahlian lulusan. PTN BH yang fokus pada program studi yang “laku di pasar” mungkin mengabaikan program studi penting yang kurang diminati, seperti seni, budaya, atau sosial kemasyarakatan. Untuk mencapai Indonesia Emas 2045, diperlukan SDM dengan keahlian yang beragam, bukan hanya yang berorientasi pada industri yang sedang booming.Ke depan, pemerintah kemungkinan akan mengambil pendekatan bertahap dalam meningkatkan UKT. Alih-alih menaikkan UKT secara drastis, kebijakan ini akan dilakukan secara bertahap dan terukur untuk mengurangi potensi protes. Meski pendekatan ini lebih hati-hati, risikonya tetap ada: membebani mahasiswa dengan biaya pendidikan yang terus meningkat dalam jangka panjang tanpa mengatasi masalah mendasar terkait aksesibilitas pendidikan.
Selain itu skema student loan juga mulai dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Namun, jika kebijakan ini diterapkan maka akan menimbulkan kekhawatiran baru. Meskipun pinjaman pendidikan dapat memperluas aksesibilitas, masalah mendasar terkait ketersediaan lapangan pekerjaan yang memadai di Indonesia belum sepenuhnya terpecahkan. Banyak lulusan menghadapi tantangan dalam menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka, yang dapat memperburuk beban utang dari student loan. Ketersediaan pekerjaan di Indonesia masih terbatas, terutama untuk posisi yang memerlukan keahlian khusus atau pendidikan tinggi, yang dapat memperburuk ketidakstabilan ekonomi lulusan yang memiliki utang besar. Hal ini menimbulkan risiko baru terkait ketidakmampuan membayar utang, yang pada akhirnya dapat menciptakan generasi muda yang terjebak dalam siklus utang dan beban finansial yang berkepanjangan.
Harapan kedepannya agar pemerintah lebih berpihak kepada rakyat dengan mengutamakan pembangunan manusia yang inklusif, sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk mengedepankan kebijakan yang tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang kurang mampu, memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas. Penekanan pada inklusivitas dan pemerataan dalam pendidikan adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan pendidikan tidak hanya fokus pada aspek profitabilitas dan daya saing institusi, tetapi juga pada pemenuhan hak pendidikan setiap warga negara, tanpa memandang latar belakang ekonomi mereka. Dengan mengedepankan prinsip keadilan dalam kebijakan pendidikan, kita dapat mewujudkan cita-cita bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun masyarakat yang lebih beradab dan berdaya saing.
Untuk itu, penting bagi pemerintah dan lembagapendidikan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan UKT dan model pendanaan pendidikan lainnya. Salah satu langkah strategis adalah melakukan konsultasi publik yang melibatkan mahasiswa, orang tua, dan masyarakat luas dalam merumuskan kebijakan pendidikan. Ini akan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Selain itu, pemerintah juga perlu menyediakan skema bantuan keuangan yang lebih fleksibel dan terjangkau untuk mahasiswa dari keluarga kurang mampu, serta memperkuat program beasiswa dan pinjaman pendidikan dengan syarat yang lebih ringan. Implementasi kebijakan yang berbasis pada data dan studi kelayakan yang mendalam juga akan membantu memastikan bahwa setiap kebijakan pendidikan yang diterapkan mampu mengatasi ketidakadilan yang ada.
Jika aksesibilitas pendidikan tinggi dapat diperbaiki dan tidak terbebani oleh kapitalisme, maka bonus demografi yang saat ini menjadi salah satu potensi terbesar Indonesia dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi menjadi alat utama dalam memajukan bangsa, bukan hanya sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Dengan menghilangkan hambatan biaya dan memastikan bahwa semua calon mahasiswa memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan berkualitas, kita dapat mengoptimalkan potensi bonus demografi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kualitas SDM di seluruh negeri. Pendidikan yang inklusif dan terjangkau akan memungkinkan generasi muda untuk berkontribusi secara penuh dalam pembangunan bangsa dan mencapai cita-cita Indonesia Emas, yaitu menjadi negara maju yang sejahtera dan berdaya saing tinggi. Pemerintah harus memastikan bahwa sistem pendidikan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai penghasil tenaga kerja terampil, tetapi juga sebagai pendorong inovasi dan pengembangan keahlian yang beragam, sesuai dengan kebutuhan dan tantangan masa depan.
Dengan demikian, fokus pada aksesibilitas pendidikan yang lebih merata dan inklusif tidak hanya akan meningkatkan kualitas SDM, tetapi juga memperkuat fondasi bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan keadilan sosial. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan sistem pendidikan yang adil, berdaya saing, dan mampu memfasilitasi pencapaian cita-cita bersama menuju Indonesia Emas 2045.
Penulis: Firdaus @firdaus_lv7