Banjarmasin – Militer kembali masuk ke pemerintahan sipil? Bukan Orde Baru, tetapi inilah kondisi Indonesia saat ini. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan RUU TNI pada Kamis (20/3/2025), di Gedung Nusantara II, gedung DPR, Senayan, Jakarta. Kabar ini memunculkan kritik dan kekhawatiran tentang masa depan demokrasi Indonesia.
Aksi penolakan pada Jumat (21/3/2025) terhadap pengesahan perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dan sejumlah perguruan tinggi lainnya. Aksi tersebut diwarnai dengan ketidakhadiran Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, DR. H. Supian HK, S.H., M.H.
Padahal sebelumnya, Supian HK menandatangani MoU yang berisi komitmen untuk menemui dan mendampingi mahasiswa selama aksi berlangsung. Namun, saat aksi berlangsung kemarin, ia tidak berhadir dengan alasan sakit dan sedang dirawat di rumah sakit di luar Banjarmasin.
Alhasil, yang menemui mahasiswa hanya anggota DPRD Kalsel. Tentunya, hal ini menambah kekecewaan mahasiswa yang berharap dapat berdialog langsung dengan beliau mengenai permasalahan ini.
“Mengacu pada fakta integritas yang ditandatangani Ketua DPRD tahun lalu, beliau berkomitmen untuk menemui mahasiswa secara langsung setiap kali ada aksi massa atau demonstrasi. Namun, hingga sore hari ini, beliau tidak hadir dan hanya diwakili oleh anggota-anggota DPRD. Saya merasa beliau mengkhianati fakta integritas tersebut,” ucap Mario, mahasiswa FISIP ULM, mengungkapkan kekecewaannya.
Aksi ini dimulai dengan berkumpul di dua titik, Gedung Serbaguna ULM Banjarmasin dan Gedung Pascasarjana ULM Banjarbaru. Setelah itu, para peserta aksi bergerak menuju Kantor DPRD Provinsi Kalimantan Selatan sebagai titik juang utama. Para mahasiswa menuntut agar militer tidak terlibat lebih dalam pada struktur pemerintahan sipil dan menegaskan pentingnya menjaga prinsip demokrasi di Indonesia.
Revisi UU TNI yang baru saja disahkan menuai kritik karena memungkinkan perwira aktif TNI menduduki jabatan sipil tanpa harus pensiun. Menurut para pengkritik, kebijakan ini dapat mengancam kebebasan berpendapat, mempersempit peluang kerja bagi anak muda, dan meningkatkan risiko kembalinya pemerintahan yang lebih otoriter. Mahasiswa menganggap langkah tersebut berpotensi mengarah pada percampuran antara militer dan politik yang berbahaya bagi stabilitas demokrasi Indonesia.
Ada tiga pasal penting dalam perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tersebut. Dilansir dari news.detik.com, Pasal 7 menambahkan dua tugas baru bagi TNI, yaitu membantu dalam menanggulangi ancaman pertahanan siber dan hacker, serta melindungi dan menyelamatkan Warga Negara Indonesia (WNI) dan kepentingan nasional di luar negeri.
Kemudian, pada Pasal 47 menambah empat posisi jabatan publik yang dapat diisi oleh TNI aktif, dari yang sebelumnya 10 menjadi 14, termasuk jabatan di berbagai badan dan kementerian, seperti Badan Penanggulangan Terorisme dan Kejaksaan Agung. Pasal ini menuai kontroversi dari berbagai kalangan, khususnya civitas akademika. Bagaimana tidak? Dengan adanya pasal ini memungkinkan militer memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan.
Selain itu, Pasal 53 mengubah batas usia pensiun prajurit dengan ketentuan yang variatif berdasarkan pangkat dan jabatan. Dilansir dari TEMPO.CO, Co-Founder Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) Dwi Sasongko memperingatkan bahwa penambahan usia pensiun TNI ini berpotensi menyebabkan bottleneck atau stagnasi karier perwira. Artinya akan ada keterlambatan regenerasi di TNI, perwira muda akan lebih lama naik pangkatnya.
Menurut salah seorang peserta aksi, Widya, mahasiswi Fakultas Teknik ULM, mengungkapkan bahwa dampak jangka panjang yang mereka khawatirkan adalah dominasi militer dalam dunia politik, yang berpotensi membuat pemerintahan Indonesia menjadi otoriter. Mereka takut suara-suara yang mereka gaungkan seperti sekarang tidak bisa disuarakan lebih bebas di masa depan, terutama jika kepolisian atau TNI mendominasi pemerintahan.
Selama aksi berlangsung, mahasiswa terus berorasi di depan gedung DPRD, di mana mereka menyampaikan aspirasi dan kekhawatiran mereka mengenai pengesahan RUU TNI yang memungkinkan militer mengisi posisi penting dalam pemerintahan. Akan tetapi, situasi semakin memanas ketika ketegangan antara mahasiswa dan aparat keamanan meningkat. Beberapa mahasiswa dilaporkan terkena pentungan polisi dan mengalami luka ringan di beberapa bagian tubuh.
Namun, ketegangan yang terjadi akhirnya berhasil diredakan ketika perwakilan dari pihak DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu H. Kartoyo selaku Wakil Ketua 1 DPRD Provinsi Kalimantan Selatan dan Saddam Husin Naparin, S.H., keluar dari gedung dan menghadap mahasiswa yang sedang berorasi. Meski demikian, hal ini belum memuaskan keinginan para mahasiswa karena mereka menganggap perwakilan tersebut tidak sah, mengingat tidak adanya mandat resmi dari Ketua DPRD. Bahkan surat mandat yang kemudian ditulis setelah permintaan mandat via telepon oleh Ketua DPRD pun terkesan sangat biasa saja dan terburu-buru, tanpa kop surat maupun tanda tangan elektronik Ketua Dewan. Akibatnya, pernyataan sikap yang diminta oleh mahasiswa belum bisa dimulai.
Setelah surat mandat tersebut direvisi, akhirnya perwakilan dari DPRD dan perwakilan massa orasi mahasiswa pun membacakan pernyataan sikap bahwa DPRD Provinsi Kalimantan Selatan mendukung penolakan RUU TNI dan menuntut untuk mencabut RUU yang sudah disahkan pada Kamis, 20 Maret 2025 sebelumnya.
Jurnalis: Halwa Tasnida (@rvuwava)
Redaktur: Rafina Jayanti (@fienaaa.a)